Minggu, 10 Januari 2016



KARAKTERISTIK DAN PERKEMBANGAN ANAK USIA SD
Oleh: Sitti Rahmah Syarifuddin


Pendahuluan
            Di kalangan para pendidik sudah ada kesepahaman bahwa anak bukanlah orang dewasa dalam ukuran kecil. Oleh sebab itu anak harus diperlakukan sesuai dengan tahap-tahap perkembangannya. Hanya saja dalam pendidikan sehari-hari tidak selalu demikian yang terjadi. Banyak contoh yang menunjukkan betapa para orang tua dan masyarakat pada umumnya memperlakukan anak tidak sesuai dengan tingkat perkembangannya.

            Mencermati praktek pendidikan anak-anak, tampaklah bahwa ada dua hal yang perlu diperhatikan pada pendidikan anak-anak usia dini, yakni: (1) Materi pendidikan, dan (2) Metode pendidikan yang digunakan. Secara singkat dapat dikatakan bahwa materi maupun metode pendidikan yang digunakan dalam rangka pendidikan anak harus benar-benar memperhatikan tingkat perkembangan mereka. Memperhatikan tingkat perkembangan berarti pula mempertimbangkan tugas perkembangan mereka, karena setiap periode perkembangan juga mengemban tugas perkembangan tertentu.
            Masa usia sekolah dasar terkadang dikatakan sebagai masa kanak-kanak akhir yang berlangsung dari usia 6 tahun hingga kira-kira usia 11 atau 12 tahun. Usia ini ditandai dengan mulainya anak masuk sekolah dasar dan dimulailah sejarah baru dalam kehidupannya yang kelak akan mengubah sikap-sikap dan tingkah lakunya. Para pendidik mengenal masa ini sebagai masa sekolah. Oleh karena pada usia inilah anak untuk pertama kalinya menerima pendidikan formal.
            Seorang pendidik harus betul-betul memahami karakteristik dan mengetahui fase perkembangan pada siswa sekolah dasar, sebagaimana yang akan diuraikan dalam makalah ini,dengan beberapa permasalahan pokok yaitu :
A.    Bagaimana karakteristik siswa sekolah dasar ?
B.     Bagaimana perkembangan siswa sekolah dasar ?

Pembahasan
       A. Karakteristik Siswa Sekolah Dasar
            Karakteristik siswa adalah keseluruhan pola kelakuan dan kemampuan yang ada pada siswa sebagai hasil dari pembawaan dari lingkungan sosialnya sehingga menentukan pola aktivitas dalam meraih cita-citanya. Dengan demikian, penentuan tujuan belajar itu sebenarnya harus dikaitkan atau disesuaikan dengan keadaan atau karakteristik siswa itu sendiri. Kalau demikian, apakah lebih tepat bilamana siswa sendiri yang menetapkan tujuan belajarnya, sehingga proses belajar mengajar akan berjalan secara tidak langsung siswa/anak didik itu sudah menentukan tujuan belajarnya, terbukti dengan pemilihan spesialisasi masing-masing walaupun hal ini tidak dapat diartikan secara mutlak.[1]
            Mengenai karakteristik siswa ini ada 3 hal yang perlu diperhatikan :
1)       Karakteristik atau keadaan yang berkenaan kemampuan awal, seperti kemampuan intelektual, kemampuan berpikir, mengucapkan hal-hal yang berkaitan dengan aspek psikomotor dan lain-lain.
2)       Karakteristik yang berhubungan dengan latar belakang dan status sosial (sociokultural).
3)       Karakteristik yang berkenaan dengan perbedaan-perbedaan kepribadian seperti sikap, perasaan, minat dan lain-lain.[2]
Dalam konteks ilmiah pendidikan formal yang berlangsung di sekolah sering ditemukan berbagai macam karakter siswa seperti sifat rajin, cerdas, malas, berani, penakut, pemarah, nakal, cerewet, pemalu, egois, pendiam, pengganggu dan sulit bekerjasama.
Karakter malas, penakut, pemarah, nakal, cerewet, pemalu, egois, pendiam, pengganggu dan sulit bekerjasama merupakan watak yang dimiliki oleh sebagian siswa. Karakter tersebut dikhawatirkan akan menghambat proses belajar mengajar dalam interaksi antara guru dan siswa, serta antara siswa dengan siswa lainnya.
1.      Faktor Intelektual, Masa Keserasian Sekolah
Setelah melewati proses sosialisasi telah berlangsung dengan lebih efektif sehingga menjadi matang masuk Sekolah Dasar. Pada umur berapa tepatnya anak matang untuk masuk Sekolah dasar sebenarnya sukar untuk dikatakan, karena kematangan itu tidak ditentukan oleh umur semata-mata; namun pada umur antara 6 atau 7 tahun biasanya anak memang telah matang untuk masuk Sekolah Dasar.
Pada masa keserasian bersekolah ini secara relatif anak-anak lebih mudah dididik dari pada masa sebelum dan sesudahnya. Beberapa sifat khas yang pada masa ini antara lain :
1)       Adanya korelasi yang tinggi antara keadaan jasmani dan prestasi sekolah.
2)       Sikap tunduk kepada peraturan-peraturan permainan yang tradisional.
3)       Ada kecenderungan memuji diri.
4)       Suka membanding-bandingkan dirinya dengan anak lain.
5)       Kalau tidak dapat menyelesaikan sesuatu soal, maka soal itu dianggapnya tidak penting.
6)       Pada masa ini anak menghendaki nilai-nilai yang baik, tanpa mengingat apakah prestasinya memang pantas diberi nilai baik atau tidak.[3]
2.      Faktor Kognitif
Istilah cognitive berasal dari kata cognition yang sepadan dengan knowing, berarti mengetahui. Dalam arti yang luas, cognition (kognisi) ialah perolehan, penataan, dan penggunaan pengetahuan.[4]
Adapun yang termasuk dalam aktivitas kognitif ini yaitu :
1)           Mengingat adalah suatu aktifitas kognitif, didefinisikan sebagai kecakapan untuk menerima, menyimpan, dan memproduksikan kesan-kesan. Ada 2 bentuk mengingat yaitu: mengenal kembali dan mengingat kembali.
2)           Berpikir adalah daya jiwa yang dapat meletakkan hubungan-hubungan antara pengetahuan siswa. Berpikir itu merupakan proses yang “dialektis” artinya selama siswa berpikir, pikiran siswa dalam keadaan tanya jawab, untuk dapat meletakkan hubungan pengetahuan siswa. Hasil berpikir itu dapat diwujudkan dengan bahasa.[5]
3.      Faktor Motorik
Perkembangan motorik inilah yang memungkinkan dapat melakukan segala sesuatu, yang terkandung dalam jiwanya dengan sewajarnya.
Dengan perkembangan motorik itu anak makin kaya dalam tingkah laku, sehingga memungkinkan anak memperkaya aktivitasnya, kreativitas belajar dan bekerja memungkinkan anak dapat melakukan perintah, memungkinkan anak melakukan kewajiban, tugas-tugas, bahkan keinginan-keinginannya sendiri.
Melalui perbendaharaan motorik atau perbuatannya itu, dengan mudah anak akan dapat menyampaikan isi jiwanya, sebagai pelengkap dari pernyataan jiwanya yang seharusnya dinyatakan dalam bentuk bahasa.
4.      Faktor Emosional
Anak yang semula hanya merasakan senang dan sedih, makin lama perasaan itu terdiferensiasi menjadi perasaan-perasaan menyesal, kasihan/iba, marah, jengkel, simpati, bersalah, wajib, dan sebagainya. Kesemuanya itu disebabkan oleh pengalaman yang makin lama makin meluas pula. Jadi makin luas pergaulan anak makin kayalah anak bervariasi dalam tingkah lakunya.
Hal tersebut sangat berguna untuk menerima pelajaran di sekolah, sehingga memudahkan anak menerima bahan pelajaran dari guru, memudahkan anak memahami bahan pengetahuan yang diberikan oleh gurunya.
B. Perkembangan Siswa Sekolah Dasar
            Perkembangan selalu berarti pada diferensiasi. Artinya, setiap tahap dari seluruh perkembangan anak, berarti mulai adanya diferensiasi baru pada anak itu, baik jasmani maupun rohaninya.[6] Hal yang perlu diperhatikan pula ialah bahwa tiap suatu fase yang dialami oleh anak, merupakan masa peralihan atau masa persiapan bagi masa selanjutnya. Tiap fase antara anak yang satu dengan anak yang lain, tidak sama lamanya. Inilah sebabnya mengapa sering dikatakan bahwa tiap anak mempunyai irama perkembangannya sendiri-sendiri.
            Hal kedua yang perlu diketahui ialah bahwa perkembangan yang dialami oleh anak adalah perkembangan jasmani dan rohani. Oleh karena itu di dalam membantu perkembangan anak, orangtua dan guru diharapkan mampu menjaga proses pengembangan ini selalu dalam keseimbangan agar tidak terjadi kelainan pada anak.
            Sedangkan hal keempat yang perlu diketahui oleh para orangtua ialah dalam keluargalah anak itu berkembang. Oleh karenanya, keluarga menempati tempat terpenting bagi terbentuknya pribadi anak secara keseluruhan yang akan dibawa sepanjang hidupnya. Keluarga pemberi bentuk watak, pemberi dasar rasa keagamaan, penanaman sifat, kebiasaan, hobby, cita-cita dan sebagainya. Lembaga-lembaga lain di masyarakat adalah sekedar membantu. Sekolah dan perkumpulan anak-anak di masyarakat membantu melanjutkan, memperbanyak atau memperdalam apa yang diperoleh dari keluarga.[7]
            Selanjutnya, pembahasan mengenai ranah perkembangan siswa ini akan memaparkan beberapa tahapan yang tetap terkait dengan beberapa faktor pembentuk karakteristik siswa, antara lain:
1. Perkembangan intelektual
            Tahap ini disebut pula dengan tahap perkembangan kognitif, yakni perkembangan fungsi intelektual atau proses perkembangan kemampuan / kecerdasan otak yang meliputi kecakapan untuk berpikir, mangamati atau mengerti, kecakapan untuk menganalisa hubungan-hubungan, perbedaan-perbedaan, dan sebagainya.[8] Proses ini meliputi beberapa tahap yaitu:
    a. Tahap Sensorimotor
            Pada tahap ini seorang anak belajar bagaimana mengikuti dunia kebendaan secara praktis dan belajar menimbulkan efek tertentu tanpa memahami apa yang sedang ia perbuat kecuali hanya mencari cara untuk melakukan suatu perbuatan. Kemampuan pengenalan awal melalui upaya belajar (memahami benda) tersebut selanjutnya diasimilasikan dan diakomodasikan dengan skema sensorimotornya untuk mencapai ekuilibrium dalam arti dapat memuaskan kebutuhannya.[9]
    b. Praoperasi
            Tahapan ini sejalan dengan adanya perkembangan bahasa dan ingatan sehingga seorang anak mampu mengingat banyak hal tentang lingkungannya Melalui itu pula ia mampu menduga suatu hal dengan lebih baik meskipun pendugaan ini masih dalam bentuk yang sederhana, yakni melakukan generalisasi terhadap setiap obyek yang diresponnya.[10]
    c. Tahap Operasi Konkret
            Dalam tahap ini, seorang anak telah mampu mempelajari kaidah mengenai konservasi dan dapat menggunakan logika sederhana di dalam memecahkan berbagai permasalahan yang selalu muncul setiap kali ia berhadapan dengan benda nyata. Pada tahap ini pula seorang anak memperoleh tambahan kemampuan yang disebut system of operations (satuan langkah berpikir) yang berguna bagi anak untuk mengkoordinasikan pemikiran dan idenya dengan peristiwa tertentu ke dalam sistem pemikirannya sendiri sehingga ia mulai mampu melakukan klasifikasi terhadap obyek-obyek yang ia temukan.[11]
    d. Tahap Operasi Formal
            Dalam perkembangan ini, seorang anak telah memiliki kemampuan untuk mengkoordinasikan baik secara simultan maupun berurutan dua ragam kemampuan kognitif, yakni: 1) kapasitas menggunakan hipotesis, 2) kapasitas menggunakan prinsip-prinsip abstrak. Melalui kapasitas menggunakan hipotesis, ia akan mampu berpikir mengenai sesuatu khususnya dalam hal pemecahan masalah dengan menggunakan anggapan dasar yang relevan dengan lingkungan yang ia respon. Selanjutnya, dengan kapasitas menggunakan prinsip-prinsip abstrak, ia akan mampu mempelajari materi-materi pelajaran yang abstrak, seperti ilmu agama, matematika dan ilmu abstrak lainnya dengan luas dan lebih mendalam.[12]
2. Perkembangan Kognitif
            Menurut para ahli psikologi kognitif, pendayagunaan kapasitas ranah kognitif sudah mulai berjalan sejak seseorang mulai mendayagunakan kapasitas motor dan sensornya.[13] Seperti halnya pada perkembangan intelektual, pada perkembangan kognitif juga meliputi tahapan-tahapan sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya. Aktivitas pada perkembangan ini didasarkan atas pengalaman langsung melalui pancaindera yang berinteraksi lebih jauh dan mendalam sehingga seseorang mulai mampu melakukan kategorisasi terhadap pengalaman pancainderanya yang sejalan dengan perkembangan potensi psikologisnya.
            Beberapa perkembangan yang terkait dengan tahap ini adalah:[14]
a.       Perkembangan strategi belajar dalam memahami isi materi pelajaran.
b.      Perkembangan strategi meyakini arti penting isi materi pelajaran dan aplikasinya serta menyerap pesan-pesan moral yang terkandung dalam materi pelajaran tersebut.
Selain itu, aktivitas dalam tahap perkembangan juga ditumbuhkan melalui pembelajaran terhadap ketaatan untuk mematuhi berbagai peraturan yang ikut berpengaruh dalam membentuk sikap dan mental siswa didik sehingga ia dapat memahami pentingnya kedisiplinan.
3. Perkembangan Bahasa
            Sebagai sarana untuk berkomunikasi dengan orang lain, bahasa merupakan media yang sangat signifikan bagi proses perkembangan siswa didik. Sarana ini merupakan upaya untuk menyatakan pikiran, perasaan dan emosi seseorang yang juga mencakup pengungkapan dalam bentuk lambang atau simbol.
             Bagi anak usia sekolah dasar, perkembangan bahasa meliputi beberapa tahap, yaitu:[15]
a.       Tahap pemahaman, yaitu proses identifikasi dan mendefenisikan obyek yang ditemukan dengan kategorisasi-kategorisas sederhana dan mudah dipahami.
b.      Tahap perbendaharaan kata yang diupayakan melalaui penghafalan kata dan penguasaan tanda baca.
c.       Tahap membuat kalimat, yaitu dalam bentuk memberi perintah dan mengapresiasikan kemauan-kemauan serta menyatakan pendapat dan ide-ide.
d.      Ucapan, yaitu dengan melakukan percakapan atau dialog-dialog sederhana yang menginformasikan tentang lingkungan sekitarnya.
4. Perkembangan Fisik
            Proses ini menyangkut perubahan-perubahan anatomis secara progresif yang timbul dalam susunan jasmani dan fungsi-fungsi fisiologi yang juga berpengaruh terhadap proses perkembangan struktur dan perbaikan tingkah laku siswa didik. Dalam proses ini, setiap kemajuan dapat diketahui dengan mengadakan observasi terhadap perubahan-perubahan ukuran dan proporsi tubuh atau dengan memperhatikan siklus tingkat-tingkat pertumbuhan yang dicapai dan sejauhmana perubahan itu mempengaruhi pola tingkah lakunya.[16]
            Tahap perkembangan fisik bagi siswa sekolah dasar juga dapat diamati melalui kemampuannya atau kecakapannya dalam menguasai dan mendemonstrasikan alat-alat pendidikan. Dengan kata lain, perkembangan tersebut ditandai oleh kecepatan, kemahiran dan ketepatan yang mekain bertambah besar dalam memecahkan situasi-situasi intelektual yang ditawarkan kepadanya.
5. Perkembangan Emosi
            Perkembangan emosi pada anak didik sangat berperan dalam memberi warna atau mengubah kesenangan terhadap pengalaman-pengalaman sehari-hari dan juga memberi motivasi terhadap tindakan atau perbuatannya. Proses ini terkait erat dengan pertumbuhan usia yang akan memperlihatkan pengulangan respon emosional dengan berbagai ekspresi mental dan fisik.[17]
            Terlepas dari bentuk-bentuk emosi yang negatif, siswa didik pada sekolah dasar pada perkembangannya secara umum ditandai dengan minat dan rasa ingin tahu yang mendalam terhadap berbagai hal. Indikator yang menjadi tolak ukur perkembangan ini biasanya diapresiasikan dalam berbagai bentuk seperti:
a.       Belajar dengan coba-coba
b.      Belajar dengan cara meniru
c.       Belajar dengan cara mempersamakan diri
d.      Belajar melalui pengkondisian
e.       Belajar di bawah bimbingan dan pengawasan
Meskipun pola perkembangan emosi ini relatif normal dan wajar, namun berbagai ekspresi emosi siswa didik banyak dipengaruhi oleh cara mendidik dan pola-pola pengajaran yang diterapkan. Oleh karenanya, rangsangan-rangsangan yang dapat membentuk emosi peserta didik lebih sering ditampilkan dalam bentuk kepolosan sikap yang cenderung agresif dalam menilai setiap kondisi atau situasi yang dihadapinya.
III. Penutup
            Deskripsi tentang karakteristik dan perkembangan siswa sekolah dasar bagaimanapun juga akan terkait dengan uraian tentang manusia sebagai peserta didik yang ditempatkan sebagai pribadi yang utuh dalam kesatuan psikofisis atau psikosomatis yang terus mengalami pertumbuhan dan pembentukan karakter. Berangkat dari itu, berbagai variabel yang melengkapi eksistensi individu akan sangat potensial dalam membentuk karakteristik dan memicu perkembangan individu itu sendiri.
            Pada sisi yang sama, sekolah dasar sebagai salah satu lingkungan pembentuk karakter siswa didik, berperan pula sebagai lingkungan yang merangsang perkembangan potensi-potensi yang dimiliki siswa didik. Begitupula akan membawa perubahan-perubahan apa saja dalam pola sikap dan pikir, kematangan intelektual, mental, fisik serta emosi yang dimanfaatkan dalam pencapaian pertumbuhan dan perkembangan yang diinginkan.
Dengan sendirinya, berbagai karakter dan pola perkembangan dalam proses pematangan potensi siswa didik bukanlah sesuatu yang bersifat alami jika dikaitkan dengan dorongan-dorongan potensi tertentu atau input-input internal maupun eksternal sebagai daya perubah bagi konstruk kualitas individu yang bersangkutan.


[1]Sunarto dan Agung Hartono, 1999: 5.
[2]Sardiman A.M., 1994: 118.
[3]Sumadi Suryabrata, 1993: 214-215.
[4]Muhibbin Syah, 1999: 21.
[5]Muhibbin Syah, op., cit: 30.
[6]Lihat, Agus Sujanto, 1996: 65.
[7]Ibid: 65-66.
[8]Sunarto, op. cit: 99.
[9]Muhibbin Syah, op., cit: 26-27.
[10]Ibid: 27-29.
[11]Ibid: 29-32.
[12]Ibid: 32-34.
[13]Ibid: 22.
[14]Ibid: 49.
[15]Lihat, Sunarto, op. cit: 136-142. lihat pula, Agus Sujanto, op. cit: 92-93.
[16]Lihat, Whitherington, 1999: 154, 160.
[17]Sunarto, op. cit: 148.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Pages

About US

Social Icons

Followers

Featured Posts

Business

Latest Post

Technology

Lifestyle

Sports

Gallery

Random Posts

Popular Posts

Facebook

Entertainment

Popular Posts

Recent Posts

Text Widget