Senin, 04 Januari 2016

Konsep belajar pada umumnya dan belajar motorik sebagai akibat perilaku motorik pada khususnya, telah dirumuskan dalam berbagai definisi para ahli. Belajar dapat diartikan semacam seperangkat peristiwa, kejadian atau perubahan yang terjadi. Apabila seseorang berlatih memungkinkan ia menjadi semakin terampil dalam melaksanakan suatu kegiatan.

Belajar adalah hasil langsung dari praktik atau pengalaman. Belajar tidak dapat diukur secara langsung, karena proses yang mengantarkan pencapaian perubahan perilaku berlangsung secara internal atau dalam diri, manusia tidak bisa diamati secara langsung, terkecuali ditafsirkan berdasarkan perilaku itu sendiri. Belajar dipandang sebagai proses yang menghasilkan perubahan relatif permanen dalam keterampilan. Perubahan dalam perilaku yang menyebabkan perubahan suasana emosi, motivasi, atau keadaaan internal tidak dianggap sebagai akibat belajar.

Disimpulkan pengertian belajar adalah seperangkat proses yang berkaitan dengan latihan atau pengalaman yang mengantarkan ke arah perubahan permanen dalam perilaku terampil. Meskipun tekanan belajar gerak ialah penguasaan keterampilan, tidaklah berarti aspek lain, seperti peranan domain kognitif diabaikan. Hal ini sesuai dengan pendapat Meinel (1976) yang dikutip oleh Rusli (1988:102) menyatakan sebagai berikut: belajar itu sendiri dari tahap penguasaan, penghalusan, dan penstabilan gerak, atau keterampilan teknik olahraga. Integrasi keterampilan di dalam perkembangan total dari kepribadian seseorang. Karena itu penguasaan keterampilan baru diperoleh melalui penerimaan dan pemilikian pengetahuan, perkembangan koordinasi dan kondisi fisik sebagaimana halnya kepercayaan dan semangat juang.

Sebagian orang awam berpendapat bahwa bagi seseorang yang menganggap proses belajar sebagai suatu kejadian yang berlangsung dengan sendirinya. Ia akan menganggap belajar merupakan suatu gejala yang sederhana. Lalu pengalaman adalah guru yang terbaik, dan meniru adalah cara terbaik untuk seseorang yang mau belajar, karena dia menganggap dalam banyak hal teori itu tidak praktis dan hanya cocok untuk ilmuwan saja.

Konsep belajar pada umumnya, dan belajar gerak sebagai belajar perilaku motorik pada khususnya, telah dirumuskan dalam berbagai definisi oleh para ahli. Dalam proses pembelajaran anak melakukan berbagai tugas-tugas gerak sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangannya. Sehingga dalam proses perkembangan pendidikan jasmani memiliki muatan belajar gerak yang diarahkan pada pencapaian tujuan fisik dan perkembangan motorik.

Belajar gerak secara sederhana dapat diartikan sebagai proses pembelajaran yang dilakukan secara terencana, sistematik, dan sistemis untuk mencapai tujuan pembelajaran yang direncanakan. Dalam proses pembelajaran materi pembelajarannya adalah berbagai bentuk keterampilan gerak, baik yang dikemas dalam bentuk permainan dan latihan ketangkasan.

Menurut Schmidt (1982), belajar motorik adalah seperangkat proses yang bertalian dengan latihan atau pengalaman yang mengantarkan kearah perubahan permanen dalam perilaku terampil. Meskipun tekanan belajar motorik ialah penguasaan keterampilan tidaklah berarti aspek domain kognitif diabaikan. Ditambahkan menurut Meinel (1976), belajar gerak itu terdiri dari penguasaaan, penghalusan, dan penstabilan gerak atau keterampilan teknik olahraga.

Terdapat analisis karakteristik belajar motorik yang dipaparkan oleh Schmidt (1982), yang dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut:

Belajar sebagai proses; dalam psikologi kognitif dijelaskan, sebuah proses adalah seperangkat kejadian atau peristiwa yang berlangsung bersama, menghasilkan beberapa perilaku tertentu. Sama halnya dengan belajar keterampilan motorik, di dalamnya terlibat suatu proses yang menyumbang kepada perubahan dalam perilaku motorik sebagai hasil dari berlatih, karena itu fokus belajar motorik ialah perubahan yang terjadi pada organisme yang memungkinkannya untuk melakukan sesuatu yang berbeda dengan sebelum berlatih.
Belajar gerak adalah hasil langsung dari latihan; perilaku motorik berupa keterampilan dipahami sebagai hasil dari latihan dan pengalaman. Hal ini dipertegas dengan perubahan yang terjadi seperti faktor kematangan dan pertumbuhan. Faktor-faktor yang meyebabkan perubahan perilaku, meskipun dapat disimpulkan perubahan itu karena belajar. Sama halnya dengan persoalan tersebut, peningkatan kemampuan fisik dapat menyebabkan peningkatan keterampilan seseorang dalam satu cabang olahraga, sehingga dapat dibuat kesimpulan yang salah bahwa perubahan itu karena belajar.
Belajar gerak tidak teramati secara langsung; proses yang terjadi di balik perubahan keterampilan itu mungkin sekali amat kompleks dalam sistem persyaratan, seperti bagaimana informasi sensoris diproses, diorganisasi, dan kemudian diolah langsung dan arena itu, hanya dapat ditafsirkan eksistensinya dari perubahan yang terjadi dalam keterampilan atau perilaku motorik.
Belajar gerak menghasilkan kapasitas untuk bereaksi (kebiasaan); pembahasan belajar motorik juga dapat ditinjau dari munculnya kapasbilitas untuk melakukan suatu tugas dengan terampil. Keterampilan tersebut dapat dipahami sebagai suatu perubahan dalam sistem pusat syaraf. Tujuan dari latihan adalah untuk memperkuat atau memantapkan jumlah perubahan yang terdapat pada kondisi internal. Kondisi internal ini sering disebut dalam istilah kebiasaan.
Belajar gerak relatif permanen; ciri lain dari belajar motorik adalah relatif permanen. Hasil belajar itu relatif bertahan hingga waktu relatif lama. Manakala seseorang belajar dan berlatih, maka ia tidak pernah sama dengan keadaan sebelumnya. Dan belajar menghasilkan perubahan relatif permanen. Persoalannya adalah seberapa lama keterampilan itu melekat? Memang sukar untuk menjawab, berapa lama hasil belajar itu akan melekat. Meskipun sukar ditetapkan secara kuantitatif, apakah selama 1 bulan, atau 2-5 hari, untuk kebutuhan analisis dapat menegaskan, belajar akan menghasilkan beberapa efek yang melekat.
Belajar gerak bisa menimbulkan efek negatif; kesan umum yang diperoleh bahwa belajar menimbulkan efek positif yaitu penyempurnaan keterampilan, atau penampilan gerak seseorang. Namun demikian, anggapan ini mengandung persoalan, karena apa yang disebut kemajuan atau penyempurnaan tidak terlepas dari persepsi si pengamat. Perubahan perilaku pada seseorang bisa jadi dianggap sebagai peningkatan bagi seorang pengamat, dan sebagai suatu kemunduran bagi yang lain. Misalnya saat latihan atau belajar salto ke belakang terjadi kurang tinggi dan putarannya terlampau banyak sehingga terjatuh terlentang akibatnya trauma. Kesan buruk masa lampau, kegagalan dalam suatu kegiatan, atau ketidakberhasilan melakukan satu jenis keterampilan dengan sempurna justru bukan berakibat negatif, tapi mendorong ke arah perubahan yang positif.
Untuk menguasai suatu keterampilan gerak, seorang harus melalui beberapa tahapan belajar gerak, sebagai berikut:

1. Cognitive stage, merupakan tahap di mana anak didik sedang mendapatkan informasi tentang bentuk keterampilan gerak yang harus dilakukan. Melalui informasi inilah perencanaan bentuk gerak dibentuk dalam sistem memori. Oleh karena itu, tahap kognisi oleh sebagian ahli berpendapat sebagai tahap perencanaan. Bentuk keterampilan gerak akan segera dapat terbentuk dengan baik dalam memori seseorang apabila proses penyajian informasi dilakukan dengan benar dan sederhana. Prinsipnya makin sederhana bentuk keterampilan gerak yang dapat disajikan dengan jelas akan makin cepat pula terbentuk pola gerak yang dilakukan.

2. Associative stage, merupakan tahap di mana seseorang sedang merealisasikan pola gerak yang telah terbentuk dalam sistem memorinya. Pada awalnya realisasi gerak yang dikerjakan dilakukan dengan koordinasi gerak yang rendah. Oleh karena pelaksanaan keterampilan yang dilakukan masih tampak kaku. Pada tahap ini perlu memberikan perhatian yang profesional terhadap frekuensi pengulangan, intensitas dan tempo pengulangan.

Frekuensi pengulangan merujuk pada berapa kali seorang melakukan pengulangan gerak, baik yang dihubungkan dengan satuan berapa kali gerak dilakukan dalam satuan waktu tertentu, maupun yang berhubungan dengan jumlah pengulangan belajar yang dilakukan dalam satu minggu. Pengulangan ini dapat memperkuat hubungan antara reseptor dan efektor yang secara langsung dapat meningkatkan kualitas pola gerak yang terbentuk dalam memori.

3. Autonomous stage, merupakan tahap akhir dari rangkaian proses belajar gerak. Gerakan otomatis merupakan hasil dari latihan yang dilakukan dengan efektif. Gerakan otomatisasi dapat terjadi karena telah terjadinya hubungan yang permanen antar reseptor dengan efektor. Gerakan otomatisasi dalam mekanismenya tidak lagi dikoordinasikan oleh sistem syaraf pusat melainkan pada alur singkat pada sistem syaraf otonom.

Pustaka:

Gallahue, David L, Motor Development and Movement Experiences. New York: John Wiley & son, inc. Tahun 1975

Sugiyanto dan Sudjarwo M.P. Perrkembangan dan belajar gerak, modul 1 – 6. Departemen Pendidikan dan KebudayaanProyek Penataran Guru SD Setara D-N Baian Proyek Penataran Guru Pendidikan Jasmani SD Setara D-N Jakarta. Tahun 1991

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Pages

About US

Social Icons

Followers

Featured Posts

Business

Latest Post

Technology

Lifestyle

Sports

Gallery

Random Posts

Popular Posts

Facebook

Entertainment

Popular Posts

Recent Posts

Text Widget